Surat Terakhir Sahabat Sejatiku

on 14 Jan 2009


Tepatnya kali ini gue bakalan posting cerpen gue. Hmm, lumayan panjang si, tapi semoga aja, lo semua berminat buat bacanya. Thank you banget yaa yang udah mau baca :). The story is about a trully friendship.


"Surat Terakhir Sahabat Sejatiku"

Aku. Aku hanya seorang anak laki-laki yang sangat sial. Di manapun aku berada, pasti banyak sekali orang yang mengucilkan aku. Kini aku sekolah di SMA Mulia Hati, kelas 11 yang berada di kawasan Jakarta. Ini adalah sekolah ke 5, tempat ku menuntut ilmu setelah beberapa kali aku telah pindah sekolah. Dan setiap sekolah, aku tak pernah mendapat teman satupun. Aku semakin dijauhi karena mereka semua mengira aku mencontek setiap ulangan. Padahal nilai di atas rata-rata yang kau dapat, adalah hasil kerja kerasku sendiri.
Di SMA Mulia Hati ini, aku duduk di kelas 11 IPA 1. Impianku untuk saat ini adalah mempunyai, setidaknya satu orang teman. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah tersebut. “ Sungguh megah sekolah ini!” kataku dalam hati. Aku mencari ruang kelas 11 IPA 1. Akhirnya setelah menaiki dua lantai, aku mendapatkan kelasku. Aku mengetuk pintunya. “ Silahkan Masuk..” sambut sebuah suara dari dalam. Aku membuka pintunya perlahan. Kemudian, aku mendekati meja guru. “ Permisi, bu. Ini benar kelas 11 IPA 1 ?” tanyaku. “Iya benar, selamat datang ya di sekolah ini,” kata ibu guru itu diikuti senyumannya yang begitu lembut. Aku pun memperkenalkan namaku di depan kelas. “ Selamat pagi, nama saya Denny Daniswara, saya pindahan dari SMA Gardon Exist. Terima kasih semua,” aku kemudian melihat ke arah guru tersebut. “Nah Denny, kamu duduk di sebelah Windy ya,” pintanya sambil menunjuk sebuah kursi pada bagian belakang dan di tempat duduk sebelahnya ada seorang anak perempuan berambut panjang yang tersenyum manis. Sambil membetulkan kacamataku, aku berjalan ke belakang. Semua anak tersenyum padaku, aku sungguh senang. Di hari pertama sudah banyak sekali anak yang berkenalan denganku. Aku sungguh tidak percaya. Batinku pun berkata, di sinilah tempatku seharusnya berada.
Langkahku ringan saat menuju rumah. Aku sungguh gembira karena aku kini mempunyai banyak teman. Di perjalanan pulang, aku menebarkan senyum pada setiap orang yang berpapasan denganku. Aku sungguh seperti kehilangan akal sehat. “Ibu, aku pulang,” kataku sambil membuka pintu rumah. Aku segera menuju ke kamarku. Aku duduk di depan meja belajarku dan menyalakan komputerku. Hal ini sudah rutin aku lakukan setiap hari. Aku menulis puisi. Sudah lumayan banyak puisi yang aku hasilkan sejak tahun lalu. Setelah sekitar dua jam aku berkutat di depan komputer, aku kemudian belajar, mengulang pelajaran yang telah diberikan di sekolah. Ya, mungkin memang sangat monoton, tapi toh sudah jadi kebiasaan.
Keesokan harinya, aku telah siap untuk ke sekolah lagi. Aku pun sudah belajar untuk ulangan Kimia yang akan diadakan hari ini. Aku tidak kaget, walaupun di hari kedua ku di sekolah aku langsung harus mngerjakan ulangan, karena SMA tempat sekarang aku belajar merupakan salah satu SMA swasta yang mempunya standar internasional. Semua pelajarannya menggunakan bahasa inggris. Untung saja aku sempat mengikuti kursus inggris, jadi bahasa inggrisku sudah lumayan bagus. Standar nilai yang dimilki pun cukup tinggi yaitu 75. Jadi aku harus cepat beradaptasi dengan penggunaan bahasa inggris di setiap mata pelajaran kecuali kewarganegaraan dan bahasa Indonesia tentunya. Satu jam telah aku gunakan unutk mengerjakan ulangan tersebut, dan aku sangat yakin akan semua jawabanku. Aku harap, aku akan melihat coretan besar di kertas ulanganku dengan tulisan 100.
Bel tanda istirahat pun berbunyi, aku diajak oleh beberapa anak laki-laki unutuk bermain basket. Aku sangat menyukai basket sejak kecil. Sewaktu aku tidak punya teman di SMP pertama hingga keempat dulu, aku selalu menghabiskan waktuku sendirian untuk bermain basket di halaman belakang sekolah. Aku pun akhirnya menyetujui ajakan mereka unutk bermain basket. Setelah pertandingan berakhir, tim ku menang 50-47. Aku pun juga diajak mereka untuk mengikuti ekskul bola basket bersama mereka. Aku sungguh merasa senang. Memang, di SMP Mulia Hati, setiap anak wajib mengikuti setidaknya satu ekstrakulikuler. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikut bola basket.
Di hari kemudian, nilai ulangan KIMIA pun dikeluarkan. Aku sangat senang. Karena aku mendapatkan nilai sempurna. Anak-anak pun mulai mengerubungiku, hanya karena ingin melihat hasil ulangan Kimia tersebut. Hingga celetukan seorang anak membuat ku terdiam,”Ah palingan dia bikin contekan! Dasar, anak baru udah berani aja lo!”. Yang menceletuk tersebut adalah anak paling populer dan paling pintar seangkatan. Bara Pradipta namanya. Aku sangat takut. Takut hal seperti dulu akan terjadi lagi. Aku pun terdiam lagi untuk sejenak. “ Ayo anak-anak! Duduk di tempat kalian masing-masing!” perintah guru tersebut.
Saat pulang sekolah, Bara dan teman se-gangnya, mencegatku di depan gerbang. Jantungku sudah hampir mau meledak dibuatnya. Mereka memojokkan ku pada sebuah dinding yang terdapat lumayan jauh dari sekolah. “Heh anak baru! Jangan belagu lo ya! Gw itu yang pasti lebih pinter dan lebih populer dibandingin lo!,” seraya Bara mengikat tanganku ke belakang punggungku. “Enaknya diapain ni, Bar?” tanya Dion. “Lo semua tonjokin dia sampe mampus!” pinta Bara pada Dion dan 3 orang temannya yang lain. Dion memukul perutku kencang. Aku hanya bisa meringis kesakitan. Seorang menarik rambutku ke belakang. Dua orang lagi menyiramiku dengan air yang berasal dari parit. Aku sungguh menangis dalam hati. “Hal ini terjadi lagi,” batinku. Aku pulang dalam keadaan setengah sadar, kotor, sertau bau menyengat yang timbul dari air parit. Sesampainya di rumah, kuharap tidak ada orang. Benar saja, ibu meninggalkan pesan di depan pintu rumah. Ibu pasti meletakkan kuncinya di tempat biasa. Aku mengambil sebuah pot kecil yang tertanamkan bunga mawar merah. Pot itu digantung di depan rumahku. Biasanya, ibu selalu meletakkan kunci rumah tersebut di situ. Aku langsung menuju kamarku. Aku kemudian menuju kamar mandi unutk membersihkan semua badanku. Aku menangis. Aku pikir, tempat ini sangat tepat unutukku, ternyata sama saja.
Keesokan hari, aku datang ke sekolah dengan wajah pucat pasi. Aku sungguh menyimpan rasa luka kemarin. Aku menuju kursiku paling belakang, di sana terduduk teman sebangkuku, Windy. Ia merupakan salah satu anak perempuan yang menjadi incaran anak sekolahan. Paras wajahnya yang cantik, hatinya yang baik, dan sikapnya yang feminim namun sangat tegas membuat semua kaum adam di sekolah menaruh hati padanya. Kata banyak orang ia pun termasuk golongan ke atas. Aku kemudian menaruh tasku di atas mejaku. Aku menyandarkan diri pada kursiku. Tatapan mata Bara dan gengnya sungguh menusuk hingga jantungku. Aku tahu maksud mereka. Aku menghela napas panjang, hingga Windy mengangkat suaranya,”Den, lo kenapa? Ko muka lo bonyok gitu?” katanya sambil melihat-lihat wajahku penuh kekhawatiran. “Gak, gapapa ko, Ndy,” kataku tak yakin. “Lo boong sama gw?” tanyanya. “Huffff,” aku hanya bisa menghela napas. Kemudian guru pelajaran yang akan mengisi jam pertama pun memasuki kelas.
Bel tanda istirahat pun dimulai, saat ku keluar kelas, tatapan mengerikan datang dari setiap penjuru anak. Pasti yang lain sudah didoktrin oleh Bara dan gengnya. Aku hanya bisa pasrah. Aku berjalan menuju belkan sekolah. Tapi tak kusangaka, ada suara seorang hawa yang memanggilku. “DENNY!” teriaknya. Aku kenal suara itu. “Windy? Lo ngapai ngikutin gw? Lo kenapa gag gabung sama yang lain aja?Lo gag perlu ngasihanin gw kok! Asal lo tau gw ini cowo sial!” kataku penuh emosi. “Den, gw ga peduli lo cowo sial atau apapun, dan gw juga gag peduli lo dimusuhin apa gag, gw Cuma mau jadi temen lo, Den,” katanya sambil menenangkanku. Sungguh, tak kukira dia teman yang sangat baik. Teganya aku yang memarahi dia. “Maafin gw, Ndy, gw cuma...,”kata-kataku belum selesai. “Oke, oke, lo sekarang cerita sama gw dari awal, gw dengerin lo,” katanya. Aku mulai menceritakan dari awal aku pindah sekolah terus dan semua kejadian yang menimpaku. Ia mengangguk tiap kalimat ku utarakan. Ia sangat mengerti masalahku. Ia memberiku begitu banyak nasehat. Aku sungguh senang mempunyai teman yang seperti dia.
Aku dan Windy kembali ke kelas. Di perjalanan ke kelas, ia menceritakan sebuah cerita yang sangat lucu. Aku pun tertawa. Baru kali ini aku bisa tertawa selepas ini, di samping seorang teman yang menerima ku apa adanya. Pada saat ku berjalan menuju pintu kelas, Bara dan segengnya menghadang ku dari depan. Keringat dingin pun bercucuran. Tiba-tiba, Windy sudah berada di depanku. Ia membentan Bara. “Eh Bar, bisa gag lo jangan ganggu dia?” bentakknya ke Bara membuat ku sungguh kaget. Windy kemudian menarik tanganku ke kelas. Kulihat tampak wajah Bara dan gengnya kesal tak karuan. Aku sungguh terkesima melihat tegasnya Windy. Tak kusangka, ia sungguh berani.
1 setengah tahun lebih aku dan Windy bersahabat. Dan tak pernah sekalipun, Bara dapat menggangguku apabila ada Windy. Aku memang merasa sedikit malu. Karena dia sungguh anak perempuan yang tegas dibanding laki-laki lemah seperti aku. Tapi, Windy pernah bilang, aku tidak boleh minder atau apapun, dia berjanji akan terus menjadi sahabatku. Dan hingga pada suatu hari, aku mendengar kabar yang begitu membuatku ingin membunuh diriku sendiri. Aku mendengar kabar bahwa Windy telah meninggalkan aku jauh ke surga. Hatiku sangat teriris. Hampa hidupku tanpanya. Padahal, dia sudah berjanji tak kan pernah meninggalkanku. Namun apa dayakku, Tuhan lebih menyayangi Windy daripada aku menyayanginya. Tangisanku mengharu biru. Aku kemudian berlalri menuju rumahnya. Tak kupedulikan apapun. Kulihat Windy telah ditutupo kain putih bersih itu. Aku melihat keluarganya menangis, tak rela akan perginya dia. Aku mendekati ibu Windy. Aku turut berduka cita. Mungkin, hati ibu Windy tersayat hebat, lebih dari aku. Putri tunggal satu-satunya telah meninggalkannya, seakan kepergian Windy bertujuan menemani ayahnya si surga. Sebelum kupulang, ibu Windy memanggilku. “Den, kamu Denny? Sahabat Windy?”tanyanya sambil masih terisak. Aku mengangguk pelan. “Ini ada titipan surat dari dia, dia mau kamu jangan marah dan jangan nangis,”katanya sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna biru muda yang dililit oleh sebuah pita biru. Aku kemudian pamit pulang.
Sesampainya di rumah, aku mengurung diri di kamarku. Aku duduk bersandar di atas tempat tidurku. Kemudian aku mulai membuka amplop biru dengan hati yang galau tersebut.



Untuk sahabat gw yang paling baik, Denny...

Gw mau bilang minta maaf yang sebesar-besarnya ke lo, karena selama ini gw udah boongin lo. Gw selalu pura-pura kuat di depan lo. Gw cuma gag pingin liat lo sedih. Dan gw juga mau bilang makasi ke lo karena udah mau jadi sahabat sejati pertama gw. Gw yakin lo heran dengan pernyataan gw ini.
Sebelum gw pindah ke SMA MULIA HATI ini, gw sekolah di sma negeri. Dan waktu itu, gw gag punya temen sama sekali, sama kea lo. Dan lo tau penyebabnya apa? Gw dikira ngerebut pacar orang. Padahal cowonya aj yang kegenitan sama gw. Dan gag berapa lama tuh cowo pindah, dan gw dimusuhin sama semuanya. Karena gw udah gag betah, akhirnya gw pindah. Dan ternyata gw punya temen di sini. Cuma mereka manfaatin duit boka gw doang! Mereka bukan temen gw! Mereka kerjaanya meres duit gw sama bokap gw! Gw sakit hati.
Sampe lo dateng. Gw ngerasa lo itu bakalan jadi sahabat gw. Tuhan emang baik. Dan ternyata lo emang bener2 sahabat gw yang apling baik dan yang pertama. Gw gag pernah nyesel sahabatan sama lo sampe kapanpun.
Den, gw cuma minta satu hal dari lo. Lo haru jadi cowok yang PEMBERANI! Lo jagan takut sam BARA DAN GENGNYA. Mereka itu sampah! Gw mau lo jadi cowok yang kuat! Gw bakal selalu merhatiin lo, Den. Dan gw mohon, lo jangan nagis pas baca surat dari gw ini. Sekali lagi, gw minta maaf sama lo, karena gw udah ngeboongin lo selama setaun ini..dan ga juga mau bilang makasi karena lo udah jadi sahabat sejati pertama gw yang gag bakal gw luapain sampe kapanpun...
ILYSM, my trully best friend. We’ll be best friends forever....

Dari sahabat lo,

Windy Mentari.


Air mataku jatuh tepat di nama Windy. Aku menutup surat itu dan memeluknya. Aku teringat pesan Windy, aku tak boleh menangis. Aku harus menjadi pemberani. Aku harus menjadi kuat. Aku tidak akan tergoyahkan lagi oleh Bara. Dia bukan siapa-siapa. Aku menghapus air mataku. Pelupuk mata ku sanagt berat. Kelopak mataku pun makin lama makin rapat, tertutup dan aku pun tertidur.
Keesokan paginya, aku melihat bahwa mataku sangat sembab. Aku tetap berniat masuk sekolah. Aku pun segera bersiap-siap. Setelah selesai, aku pun langsung berjalan menuju sekolah. Sesampainya di sekolah, di depan gerbang, telah menunggu Bara dan gengnya. Aku mula-mula takut, tapi ku teringat pesan Windy. Aku tak boleh jadi penakut. “Heh anak sial! Lo liat gara-gara lo Windy meninggal!!” bentakknya. Aku terus berjalan berusaha mengindarinya. Walaupun dalam hatiku sangat sakit. Pada saa aku berjalan, semua muris melihatku dengan tamapng jijik, kesal, dan marah. Namun aku hanya bisa menahan emosiku. Aku kemudian masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkuku dimana yang biasnya aku duduk bersama Windy, kini aku duduk bersama seorang dari kaum ada kelas yang kutu buku dan aneh. Tatapan mata dari anak sekelas pun menusuk mataku. Sungguh tak dapat kubendung kekesalan di hati ini. Bara dan gengnya pun mendekati aku. Bara mengangkat kerah bajuku. “ Eh lo tuh pengecut tau gag! Cowok macam apa lo? Gag berani lawan gw? Lo juga kan yang nyebapin Windy meninggal? Gw deneger lo pindah-pindah sekolah karena lo udah bikin sial semua sekolah yang lo datengin!!” di mengangkat kerah bajuku makin tinggi. Sungguh..!! Tak dapat terbendung lagi amarahku. Sudah dibakarnya kepalaku hingga panas. Aku pun mendorong badanku menjauh darinya. Aku membentakknya dengan sangat lantang.
“HEH! ASAL LO TAU! LO GAG BERHAK GINIIN GW! LO BUKAN SIAPA-SIAPA GW! DAN GW BUKAN PENGECUT SEPERTI YANG LO KIRA! GW CUMA BERUSAH BUAT NAHAN SEMUA AMARAH GW SELAMA INI! TAPI SEKARANG GW UDAH GAG SANGGUP LAGI DIGINIIN SAMA LO DAN GENG LO YANG BRENGSEK ITU!” aku menekankan kata brengsek. Semua mata tertuju padaku. Kini aku puas, sudah terlepas semua bebanku. Aku sudah tidak peduli lagi. Ketika itu, ada seorang guru memanggilku. Aku mengikutinya. Ternyata aku mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Aku sungguh senang. Mereka berkata bahwa beasiswa kuliah hingga tamat di luar negeri ini diberikan karena aku telah memenangkan sebuah kompetisi SAINS tingkat internasional. Aku sungguh berbangga hati. Bersujud syukurlah aku. Aku pulang ke rumah dan membawa kabar berita baik ini. Aku pun menyempatkan diri unutuk mengunjungi makan sahabt baikku dan memberi tahunya tentang kabar baik ini. Aku juga membawa sebuket bunga mawar putih kesukaanya. Aku menceritakan semua hal yang telah terjadi hari ini padanya.
Hari keberangkatan ku di luar negeri pun tiba. Aku juga telah lulus dari SMA MULIA HATI dengan nilai tertinggi dari semua murid. Aku diantar oleh keluargaku.
Aku berjalan menuju pesawat dengan hati sedikit sedih. Aku teringat sahabat sejatiku. Saat itu pun, aku merasakan hembusan angin yang bersemilir di dekatku. Aku yakin bahwa dia pasti melihatku. Angin ini bersemilir persis seperti namanya Windy (red.angin). Surat terkahir darinya kubawa serta bersamaku. Itulah yang menjadi semangat hidupku selama ini. Terima Kasih sahabat sejatiku, Windy.

2 komentar:

Cendy Yudha Merdeka mengatakan...

Ceritanya boleh juga! Tapi kayaknya saya pernah baca / nonton cerita kayak gini deh (atau mungkin de-ja-vu).

cuma..penjelasan pas si tokoh utamanya hampir "berantem"..kurang mendetil..jadi rasa penasaran pembaca gag kesampean.

Obat herbal hepatitis B mengatakan...

Senang rasanya bisa berkunjung ke website anda" mudah-mudahan
infonya bermanfaat Terimakasih sudah berbagi

Posting Komentar